Perkembangan IPTEK di Dunia
Masalah
kejahatan mayantara dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua
pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan,
karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan
luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan
serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu
mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat.
Tindak pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam
kehidupan moderen dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat
teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan komputer, pornografi,
terorisme digital, “perang” informasi sampah, bias informasi, hacker,
cracker dan sebagainya.
Peristiwa
kejahatan mayantara yang pernah menimpa situs Mabes TNI, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Mabes Polri dan Departemen
Luar Negeri Republik Indonesia merupakan sisi gelap dari kejahatan
teknologi informasi yang memanfaatkan kecanggihan internet. Begitu juga
situs Microsoft, NASA dan Pentagon tidak luput pula dari para hacker
nakal untuk mengacaukan sistem informasi dan data yang dimiliki oleh
negara adidaya, Amerika Serikat. Ketegangan antara Cina dengan Amerika
Serikat sempat pula mengarah pada perang hacker karena mengubah situs
FBI menjadi wajah pilot Cina yang tewas dalam suatu insiden di Laut Cina
Selatan dengan pesawat pengintai Amerika yang berada di wilayah udara
Cina.
Semua
peristiwa di atas adalah beberapa contoh disalahgunakannya kemajuan
teknologi informasi untuk tujuan buruk yang dapat merugikan pihak lain
dalam tatanan dunia semakin maju dalam globalisasi ekonomi. Inilah
sebenarnya salah satu sisi paling buruk yang tidak dapat dihindarkan dan
disembunyikan dari kemajuan teknologi informasi dewasa ini sebagaimana
pernah diramalkan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene bakal ada
perubahan dunia menjadi perkampungan global (global village) dengan pola
satu sistem perekonomian atau single economy system, yaitu sistem
ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi demikian dapat menyebabkan orang
menghalalkan segala cara, terutama pada saat berlakunya pasar bebas
(free market) untuk mencapai tujuannya dengan menggunakan sarana
teknologi canggih.
Masalah ini segera menjadi pusat perhatian dari masyarakat internasional. Pada International Information Industry Congress (IIC) 2000 Millenium di Quebec, Kanada, tanggal 19 September 2000 merumuskan perlunya kewaspadaan terhadap perkembangan cybercrimes
yang dapat merusak sistem dan data vital teknologi perusahaan dalam
kegiatan masyarakat industri. Panitia Kerja Perlindungan Data Dewan
Eropa (The Data Protection Working Party of Europe Council)
menyatakan pula bahwa cybercrimes adalah bagian sisi paling buruk dari
masyarakat informasi yang perlu ditanggulangi dalam waktu singkat.
Konperensi Cybercrimes International di London, Februari 2001 menyatakan
dengan tegas bahwa cybercrime adalah salah satu dari aktivitas kriminal
yang paling cepat tumbuh di planet bumi ini. Kerugian yang ditimbulkan
luar biasa besarnya yang mencapai US $ 40 miliar per tahun. Di Amerika
Serikat menurut hasil penelitian dari United States of Computer Security Institute
(USCSI) menunjukkan bahwa sekitar 90% perusahaan (corporates) berskala
besar mengaku telah mendeteksi adanya pelanggaran keamanan terhadap
sistem komputerisasi yang mereka gunakan dalam kegiatan industri.
Sebanyak 273 perusahaan di sana telah mengalami finantial losses yang
cukup signifikan untuk tambahan modal bagi perkembangan perusahaan
tersebut. Nilai kerugian mencapai US $ 265 juta dan sebagian besar dari
transaksi ilegal.
Bagi Indonesia sebagai suatu negara berkembang dan kepulauan yang cukup besar tidak akan luput dari pengaruh perkembangan buruk teknologi informasi dewasa ini maupun masa depan. Masalah ini perlu ditanggulangi supaya tidak menjadi korban kejahatan mayantara dengan kerugian besar bagi warga masyarakat, bangsa dan negara mengingat negeri ini amat rentan dengan pelbagai bentuk kejahatan sebagai dampak dari kemajuan iptek, baik oleh hacker/cracker nakal di dalam maupun luar negeri.
Bagi Indonesia sebagai suatu negara berkembang dan kepulauan yang cukup besar tidak akan luput dari pengaruh perkembangan buruk teknologi informasi dewasa ini maupun masa depan. Masalah ini perlu ditanggulangi supaya tidak menjadi korban kejahatan mayantara dengan kerugian besar bagi warga masyarakat, bangsa dan negara mengingat negeri ini amat rentan dengan pelbagai bentuk kejahatan sebagai dampak dari kemajuan iptek, baik oleh hacker/cracker nakal di dalam maupun luar negeri.
Makna dan Perkembangan Kejahatan Mayantara
Adanya
penyalahgunaan teknologi informasi yang merugikan kepentingan pihak
lain sudah menjadi realitas sosial dalam kehidupan masyarakat moderen
sebagai dampak dari pada kemajuan iptek yang tidak dapat dihindarkan
lagi bagi bangsa-bangsa yang telah mengenal budaya teknologi (the culture of technology).
Teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
umat manusia dalam dunia yang semakin “sempit” ini. Semua ini dapat
dipahami, karena teknologi memegang peran amat penting di dalam kemajuan
suatu bangsa dan negara di dalam percaturan masyarakat internasional
yang saat ini semakin global, kompetitif dan komparatif. Bangsa dan
negara yang menguasai teknologi tinggi berarti akan menguasai “dunia”,
baik secara ekonomi, politik, budaya, hukum internasional maupun
teknologi persenjataan militer untuk pertahanan dan keamanan negara
bahkan kebutuhan intelijen. Contohnya adalah teknologi yang dimiliki
Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Israel.
Supaya
masalah penyalahgunaan teknologi ini tidak menjadi keresahan sosial
bagi masyarakat luas, seyogianya implementasi hukum di dalam kehidupan
masyarakat moderen yang memakai teknologi tinggi harus mampu untuk
mengurangi perilaku yang dapat merugikan kepentingan bagi orang atau
pihak lain, meskipun adanya hak dan kebebasan individu dalam
mengekspresikan ilmu atau teknologinya dalam kehidupan sosial yang
semakin kompleks. Harus diingat, perkembangan teknologi merupakan salah
satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu
telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang ini dan masa
akan datang yang tidak mungkin untuk diberantas tuntas.
Suatu
hal yang patut diperhatikan adalah bahwa kejahatan sebagai gejala
sosial sampai sekarang belum diperhitungkan dan diakui untuk menjadi
suatu tradisi atau budaya yang selalu mengancam dalam setiap saat
kehidupan masyarakat. Di sini perlu ada semacam batasan hukum yang tegas
di dalam menanggulangi dampak sosial, ekonomi dan hukum dari kemajuan
teknologi moderen yang tidak begitu mudah ditangani oleh aparat penegak
hukum di negara berkembang seperti halnya Indonesia yang membutuhkan
perangkat hukum yang jelas dan tepat dalam mengantisipasi setiap bentuk
perkembangan teknologi dari waktu ke waktu. Kemampuan hukum pidana
menghadapi perkembangan masyarakat moderen amat dibutuhkan mengingat
pendapat Herbert L. Packer “We live today in a state of
hyper-consciousness about the real of fancied breakdown of social
control over the most basic threats to person and proverty”.
Artinya, dewasa ini kita hidup dalam suatu negara dengan kecurigaan
tinggi seputar kenyataan pengendalian sosial dari khayalan melebihi
ancaman paling dasar terhadap orang dan harta benda. Roberto Mangabeira
Unger pernah mengemukakan, “the rule of law is intimately
associated with individual freedom, even though it fails to resolve the
problem of illegitimate personal dependency in social life”.
Artinya, aturan hukum merupakan lembaga pokok bagi kebebasan individu
meskipun ia mengalami kegagalan untuk memecahkan masalah ketergantungan
pribadi yang tidak disukai dalam kehidupan sosial. Wajar hukum harus
mampu mengantisipasi setiap perkembangan pesat teknologi berikut dampak
buruk yang ditimbulkannya, karena amat merugikan.
Penyalahgunaan
teknologi informasi ini akan dapat menjadi masalah hukum, khususnya
hukum pidana, karena adanya unsur merugikan orang, bangsa dan negara
lain. Sarana yang dipakai dalam melakukan aksi kejahatan mayantara ini
adalah seperangkat komputer yang memiliki fasilitas internet. Penggunaan
teknologi moderen ini dapat dilakukan sendiri oleh hacker atau
sekelompok cracker dari rumah atau tempat tertentu tanpa diketahui oleh
pihak korban. Kerugian yang dialami korban dapat berupa kerugian moril,
materil dan waktu seperti rusaknya data penting, domain names atau nama
baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari suatu korporasi
atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan mayantara atau
teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang
jelas. Kejahatan teknologi informasi ini menurut pendapat penulis dapat
digolongkan ke dalam supranational criminal law. Artinya, kejahatan yang
korbannya adalah masyarakat lebih luas dan besar terdiri dari rakyat
suatu negara bahkan beberapa negara sekaligus. Kejahatan dengan
jangkauan korban yang memiliki data penting ini dapat menimpa siapa dan
kapan saja mengingat akses teknologi mayantara pada masa depan sulit
untuk menyembunyikan sesuatu data yang paling dirahasiakan, termasuk
data negara.
Kejahatan
ini beraspek pada masalah hukum internasional mengingat pendapat J.G
Starke, bahwa ada kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya
lembaga-lembaga atau organisasi internasional, hubungan satu sama lain
dan hubungan negara-negara dengan individu serta kaidah-kaidah hukum
tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non
negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan atau badan non-negara
tersebut penting bagi masyarakat internasional. Kejahatan mayantara
sudah jelas akan dapat menjangkau pada kepentingan masyarakat
internasional. Ini cukup berarti menurut Romli Atmasasmita, karena
adanya standar hukum pidana yang telah berkembang di dalam kumpulan
masyarakat tersebut yang harus dapat melindungi kepentingan semua pihak.
Segala
macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau
kriminal berteknologi tinggi adalah menyalahgunakan kemudahan teknologi
digital untuk kepentingan tertentu yang sangat merugikan bagi pihak
lain. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut dapat berupa spionase informasi,
pencurian data, pemalsuan kartu kredit (credit card), penyebaran virus
komputer, pornografi orang dewasa dan anak, penyebaran e-mail bermasalah
hingga kampanye anti suku, agama, ras dan antar golongan (SARA),
terorisme dan ekstrimisme di internet. Semua bentuk kejahatan mayantara
tersebut amat merugikan bagi kepentingan individu, kelompok masyarakat,
bangsa dan negara bahkan internasional yang mendambakan selalu
terwujudnya perdamaian abadi dalam tatanan masyarakat ekonomi global.
Pada Kongres PBB ke-X tahun 2000, pengertian atau definisi dari cybercrime dibagi dua, yaitu pengertian sempit, yakni “any
illegal behaviour directed by means of electronic operations that
targets the security of computer systems and the data processed by
them”. Artinya, kejahatan ini merupakan perbuatan bertentangan
dengan hukum yang langsung berkaitan dengan sarana elektronik dengan
sasaran pada proses data dan sistem keamanan komputer. Di dalam
pengertian luas, cybercrime didefinisikan sebagai : “any
illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer
system or network, including such crimes as illegal possession, offering
or distributing information by means of a computer system or network”.
Artinya, perbuatan yang melawan hukum dengan menggunakan sarana atau
berkaitan dengan sistem atau jaringan komputer termasuk kejahatan
memiliki secara illegal, menawarkan atau mendistribusikan informasi
melalui sarana sistem atau jaringan komputer. Selain itu, Cybercrime dapat juga diartikan sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”. Artinya, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi, komputer dan internet.
Dari pengertian di atas memberikan gambaran betapa pengertian dan kriminalisasi terhadap Cybercrime cukup
luas yang dapat menjangkau setiap perbuatan ilegal dengan menggunakan
sarana sistem dan jaringan komputer yang dapat merugikan orang lain.
Oleh karena itu, supaya jelas dalam kriminalisasi terhadap cybercrime
harus dibedakan antara harmonisasi materi/substansi yang dinamakan
dengan tindak pidana atau kejahatan mayantara dengan harmonisasi
kebijakan formulasi kejahatan tersebut. Perbedaan ini penting untuk
menentukan, apakah jenis kejahatan ini akan berada di dalam atau di luar
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun undang-undang
pidana khusus yang membutuhkan kerangka hukum baru untuk diberlakukan
secara nasional. Saat ini telah ada konsep KUHP Baru yang dapat
menambahkan pasal-pasal sanksi ancaman terhadap pelaku dari kejahatan
mayantara dan RUU tentang Teknologi Informasi antara lain mengatur soal
yurisdiksi dan kewenangan pengadilan (Bab VIII), penyidikan (Bab X) dan
ketentuan pidana (Bab XI).
Pemberlakuan
undang-undang ini tidak hanya untuk ius constitutum sebagai hukum
positif, yakni hukum yang diberlakukan saat ini akan tetapi juga ius
constituendum atau hukum masa depan. Merujuk pada sistematika Draft Convention on Cybercrime
dari Dewan Eropa (Council of Europe) yaitu Draft No. 25, Desember 2000
dimana konvensi ini ditandatangani oleh 30 negara pada bulan November
2001 di Budapest, Bulgaria, maka Barda Nanawi Arief memberikan kategori cybercrime
sebagai delik dalam empat hal sebagai berikut. Pertama, delik-delik
terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem
komputer termasuk di dalamnya (a) mengakses sistem komputer tanpa hak
(illegal acces), (b) tanpa hak menangkap/mendengar pengiriman dan
pemancaran (illegal interception), (c) tanpa hak merusak data (data
interference), (d) tanpa hak mengganggu sistem (system interference),
(e) menyalahgunakan perlengkapan (misuse of devices). Kedua, delik-delik
yang berhubungan dengan komputer berupa pemalsuan dan penipuan dengan
komputer (computer related offences : forgery and fraud). Ketiga, delik-delik yang bermuatan tentang pornografi anak (content-related offences, child pornography). Keempat, delik-delik yang berhubungan dengan masalah hak cipta (offences related to infringements of copyright).
Sementara
Mardjono Reksodiputro dengan mengutip pendapat Eric J. Sinrod dan
William P. Reilly melihat kebijakan formulasi cybercrime dapat dilakukan
dalam dua pendekatan. Pertama, menganggapnya sebagai kejahatan biasa
(ordinary crime) yang dilakukan dengan pemakaian teknologi tinggi
(high-tech) dan KUHP dapat dipergunakan untuk menanggulanginya dengan
penambahan pasal tertentu dalam konsep RUU KUHP Baru. Kedua,
menganggapnya sebagai kejahatan baru (new category of crime) yang amat
membutuhkan suatu kerangka hukum baru (new legal framework) dan
komprehensif untuk mengatasi sifat khusus teknologi yang sedang
berkembang dan tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa
(misalnya masalah yurisdiksi) dan karena itu perlu diatur secara
tersendiri di luar KUHP.
Kendati
ketentuan dalam KUHP belum bisa menjangkau atau memidana para pelaku
kejahatan ini dengan tepat dan undang-undang teknologi informasi belum
ada yang dapat mengatur masalah penyalahgunaan teknologi, akan tetapi
kejahatan mayantara harus tetap menjadi prioritas utama penegak hukum
kepolisian untuk menanggulanginya. Dampak buruk teknologi menjadi
masalah serius bagi umat manusia pada masa depan, apabila disalahgunakan
oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan maksud untuk
menarik keuntungan ataupun mengacaukan data penting pihak lain bahkan
negara bisa menjadi korbannya.
Keadaan
ini tidak dapat dihindarkan mengingat salah satu ciri dari masyarakat
moderen adalah kecenderungan untuk menggunakan teknologi dalam segenap
aspek kehidupannya. Perkembangan teknologi digital tidak dapat
dihentikan oleh siapa pun sebagai wujud dari hasil kebudayaan. Di sini
menjadi tugas dari pihak pemerintah, penegak hukum kepolisian dan warga
masyarakat untuk mampu mengantisipasi setiap bentuk kemajuan teknologi
digital yang pesat sehingga dampak buruk perkembangan yang merugikan
dapat ditanggulangi lebih dini.
Bentuk-bentuk Kejahatan Mayantara
Munculnya
revolusi teknologi informasi dewasa ini dan masa depan tidak hanya
membawa dampak pada perkembangan teknologi itu sendiri, akan tetapi juga
akan mempengaruhi aspek kehidupan lain seperti agama, kebudayaan,
sosial, politik, kehidupan pribadi, masyarakat bahkan bangsa dan negara.
Jaringan informasi global atau internet saat ini telah menjadi salah
satu sarana untuk melakukan kejahatan baik domestik maupun
internasional. Internet menjadi medium bagi pelaku kejahatan untuk
melakukan kejahatan dengan sifatnya yang mondial, internasional dan
melampaui batas ataupun kedaulatan suatu negara. Semua ini menjadi motif
dan modus operandi yang amat menarik bagi para penjahat digital.
Manifestasi
kejahatan mayantara yang terjadi selama ini dapat muncul dalam berbagai
macam bentuk atau varian yang amat merugikan bagi kehidupan masyarakat
ataupun kepentingan suatu bangsa dan negara pada hubungan internasional.
Kejahatan mayantara dewasa ini mengalami perkembangan pesat tanpa
mengenal batas wilayah negara lagi (borderless state), karena kemajuan
teknologi yang digunakan para pelaku cukup canggih dalam aksi
kejahatannya. Para hacker dan cracker bisa melakukannya lewat lintas
negara (cross boundaries countries) bahkan di negara-negara berkembang (developing countries)
aparat penegak hukum, khususnya kepolisian tidak mampu untuk menangkal
dan menanggulangi disebabkan keterbatasan sumber daya manusia, sarana
dan prasarana teknologi yang dimiliki.
Disisi lain, kemampuan para hacker dan cracker dalam “mengotak-atik” internet
juga semakin andal untuk mengacaukan dan merusak data korban. Mereka
dengan cepat mampu mengikuti perkembangan baru teknologi bahkan
menciptakan pula “jurus ampuh” untuk membobol data rahasia korban atau
virus perusak yang tidak dikenal sebelumnya. Perbuatan ini jelas akan
menimbulkan kerugian besar dialami para korban yang sulit untuk
dipulihkan dalam waktu singkat mengingat ada pula antibody virus tidak
mudah ditemukan oleh pembuat software komputer.
Wajar
kejahatan mayantara akan menjadi momok baru yang menakutkan bagi setiap
orang bahkan masyarakat internasional dewasa ini dan masa depan akibat
kemajuan teknologi yang digunakan bukan untuk tujuan kemaslahatan umat
manusia, akan tetapi menghancurkan hasil rasa, karsa dan cipta orang
lain. Berdasarkan catatan dari National Criminal Intellengence Services (NCIS) di Inggris terdapat 13 macam bentuk-bentuk cybercrime.
Pertama, Recreational Hackers, kejahatan ini dilakukan oleh netter
tingkat pemula untuk iseng-iseng mencoba kekurangandalan dari sistem
sekuritas atau keamanan data suatu perusahaan. Tujuan iseng-iseng ini
oleh pelaku dimaksudkan sekedar hiburan akan tetapi mempunyai dampak
pada kejahatan mayantara yang secara langsung maupun tidak langsung
merugikan pihak lain.
Kedua, Crackers atau Criminal Minded Hackers,
yaitu pelaku kejahatan ini biasanya memiliki motivasi untuk mendapatkan
keuntungan finansial, sabotase, dan penghancuran data pihak korban.
Sebagai contoh pada tahun 1994 Citibank AS di Inggris mengalami
kebobolan senilai US $ 400.000 oleh cracker dari Rusia. Pelaku akhirnya
dapat ditangkap dan dijatuhi pidana penjara selama tiga tahun serta
harus mengembalikan sejumlah uang yang dijarah. Tipe kejahatan ini dapat
terjadi dengan bantuan orang dalam yakni biasanya adalah staf karyawan
yang “sakit hati” atau datang dari kompetitor dalam kegiatan bisnis
sejenis.
Ketiga, Political Hackers, yakni aktivis politik atau hactivist
melakukan perusakan terhadap ratusan situs web untuk mengkampanyekan
program-program tertentu bahkan tidak jarang digunakan untuk menempelkan
pesan untuk mendiskreditkan lawan politiknya. Usaha tersebut pernah
dilakukan secara aktif dalam usaha untuk kampanye anti Indonesia pada
masalah Timor Timur yang dipelopori oleh Ramos Horta dan
kawan-kawan sehingga situs Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
sempat mendapat serangan yang diduga keras dari kelompok anti integrasi
sebelum dan setelah jajak pendapat tentang Referendum Timor Timur tahun 1999 lalu.
Keempat, Denial of Service Attack.
Serangan tujuan ini adalah untuk memacetkan sistem dengan mengganggu
akses dari pengguna jasa internet yang sah. Taktik yang digunakan adalah
dengan mengirim atau membanjiri situs web dengan data sampah yang tidak perlu bagi orang yang dituju. Pemilik situs web menderita kerugian, karena untuk mengendalikan atau mengontrol kembali situs web tersebut dapat memakan waktu tidak sedikit yang menguras tenaga dan enerji.
Kelima, Insiders (Internal) Hackers
yang biasanya dilakukan oleh orang dalam perusahaan sendiri. Modus
operasinya adalah karyawan yang kecewa atau bermasalah dengan pimpinan
korporasi dengan merusak data atau akses data dalam transaksi bisnis.
Contoh Departemen Perdagangan dan Perindustrian Inggris pernah
mengumumkan bahwa tahun 1998 perusahaan di negeri itu menderita kerugian
senilai 1,5 miliar poundsterling, akibat kelakuan musuh dalam “selimut” ini.
Keenam, viruses.
Program pengganggu (malicious) perangkat lunak dengan melakukan
penyebaran virus yang dapat menular melalui aplikasi internet, ketika
akan diakses oleh pemakai. Sebelum ditemukan internet, pola penularan virus oleh hackers hanya bisa melalui floppy disk. Akan tetapi dengan berkembangnya internet dewasa ini, virus dapat bersembunyi di dalam file dan downloaded oleh user (pemakai) bahkan menyebar pula melalui kiriman e-mail. Seperti “dunia kedokteran”, maka pada “dunia komputer” memang telah menciptakan jurus anti virus seperti Melissa 1999 atau Lovebug 2000
dan sebagainya, namun masih belum dapat berbuat banyak untuk membasmi
semua jenis virus komputer yang terus berkembang dengan pesat.
Ketujuh, piracy. Pembajakan software atau perangkat lunak komputer merupakan trend atau
kecenderungan yang terjadi dewasa ini, karena dianggap lebih mudah dan
murah untuk dilakukan para pembajak dengan meraup keuntungan berlipat
ganda. Pihak produsen software yang memproduksi piranti induk
(master) dari permainan (games), film dan lagu dapat kehilangan profit
atau keuntungan karena karyanya dibajak melalui download dari
internet dan dikopi ke dalam bentuk CD-ROM yang selanjutnya diperbanyak
secara ilegal atau tanpa seizin penciptanya melalui video caset decoder (vcd), compact disc (cd), play station dan cassete recorder.
Kedelapan, fraud adalah
sejenis manipulasi informasi keuangan dengan tujuan untuk mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai contoh adalah harga tukar saham
yang menyesatkan melalui rumour yang disebarkan dari mulut ke mulut atau
tulisan. Begitu juga dengan situs lelang fiktif dengan mengeruk uang
masuk dari para peserta lelang karena barang yang dipesan tidak dikirim
bahkan identitas para pelakunya tidak dapat dilacak dengan mudah.
Kesembilan, gambling.
Perjudian di dunia mayantara semakin global sulit dijerat sebagai
pelanggaran hukum apabila hanya memakai hukum nasional suatu negara
berdasarkan pada locus delicti atau tempat kejadian perkara,
karena para pelaku dengan mudah dapat memindahkan tempat permainan judi
dengan sarana komputer yang dimilikinya secara mobil. Dari kegiatan
gambling ini, uang yang dihasilkan dapat diputar kembali di negara yang
merupakan the tax haven, seperti Cayman Island yang juga merupakan surga bagi para pelaku money laundering.
Indonesia sering pula dijadikan oleh pelaku sebagai negara tujuan
pencucian uang yang diperoleh dari hasil kejahatan berskala
internasional. Upaya mengantisipasinya adalah diterbitkan UU No. 15
Tahun 2002 tentang Pencucian Uang.
Kesepuluh, pornography and paeddophilia.
Perkembangan dunia mayantara selain mendatangkan berbagai kemaslahatan
bagi umat manusia dengan mengatasi kendala ruang dan waktu, juga telah
melahirkan dampak negatif berupa “dunia pornografi” yang mengkhawatirkan berbagai kalangan terhadap nilai-nilai etika, moral dan estetika. Melalui news group, chat rooms bahkan mengeksploitasi pornografi anak-anak di bawah umur, kegiatan hackers ini amat meresahkan bagi kalangan orang tua, agamawan dan masyarakat beradab.
Kesebelas, cyber stalking adalah segala bentuk kiriman e-mail yang tidak dikehendaki oleh user atau junk e-mail yang sering memakai folder serta tidak jarang dengan pemaksaan. Walaupun e-mail “sampah” ini tidak dikehendaki oleh para user
bahkan secara paksa memperoleh identitas personal secara detail tentang
calon para korbannya, akan tetapi kiriman ini sangat merepotkan dan
menghabiskan waktu user untuk membersihkan halaman komputernya dari “sampah” tidak diundang ini. Para pemakai komputer hanya bisa menggerutu terhadap pelakunya.
Keduabelas, hate sites. Situs ini sering digunakan oleh hackers untuk saling menyerang dan melontarkan komentar-komentar yang tidak sopan dan vulgar yang dikelola oleh para “ekstrimis” untuk menyerang pihak-pihak yang tidak disenanginya. Penyerangan terhadap lawan atau opponent
ini sering mengangkat pada isu-isu rasial, perang program dan promosi
kebijakan ataupun suatu pandangan (isme) yang dianut oleh
seseorang/kelompok, bangsa dan negara untuk bisa dibaca serta dipahami
orang atau pihak lain sebagai “pesan” yang disampaikan.
Ketigabelas, criminal communications. NCIS telah mendeteksi bahwa internet dijadikan sebagai alat yang andal dan moderen untuk melakukan kegiatan komunikasi antar Gangster, anggota sindikat obat bius dan bahkan komunikasi antar “Hooligan”
di dunia sepakbola Inggris. Komunikasi lewat internet merupakan alat
atau sarana yang cukup ampuh untuk melakukan kejahatan terorganisir.
Bagaimanakah
dengan kasus kriminalitas atau modus operandi yang berbasiskan pada
teknologi digital di Indonesia?. Beberapa kasus kejahatan mayantara yang
terjadi dan ditangani oleh penegak hukum kepolisian lebih banyak
bermotifkan pada masalah ekonomi antara lain pembobolan rekening bank
yang dialami BNI Cabang New York (1987) dengan kerugian Rp. 30 miliar,
Bank Danamon Jakarta (1990) sebanyak Rp. 372 miliar, Bank Panin Cabang
Senayan, Jakarta (1995) sebanyak Rp. 4,2 miliar, Hongkong Bank di
Jakarta (1996) sebanyak Rp. 96 miliar. Kasus penyadapan credit card pada beberapa daerah sempat marak pada tahun 2001 lalu.
Bentuk-bentuk
dari kejahatan mayantara lain bukan berarti tidak pernah terjadi di
Indonesia, akan tetapi karena tidak dilaporkan oleh para korban pada
pihak kepolisian, maka masalah ini tidak menonjol dan menjadi prioritas
penegakan hukum. Keadaan demikian sebenarnya akan menjadi kejahatan
tersembunyi (hidden crime of cyber) pada masa depan apabila tidak ditanggulangi secara hukum.
Upaya Penanggulangan Kejahatan Mayantara
Harus diakui bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement)
dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh
negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami
adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan
telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih
ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali
kejahatan mayantara yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
Di Inggris dan Jerman membentuk suatu institusi bersama yang ditugaskan untuk dapat menanggulangi masalah Cybercrime Investigation dengan nama National Criminal Intellegence Service (NCIS) yang bermarkas di London. Pada tahun 2001, Inggris meluncurkan suatu proyek yang diberi nama “Trawler Project” bersamaan dibentuknya National Hi-tech Crime Unit yang dilengkapi dengan anggaran khusus untuk cyber cops. Sementara itu, Amerika Serikat membentuk pula Computer Emergency Response Team (CERT) yang bermarkas di Pittsburg pada tahun 1990-an dan Federal Bureau Investigation (FBI) memiliki Computer Crime Squad
di dalam menanggulangi kejahatan mayantara. Beberapa negara Asia lain
ternyata telah maju selangkah dengan membentuk perangkat undang-undang
teknologi informasi seperti The Computer Crime Act 1997 (Malaysia), The Computer Misuse Act 1998 (Singapura), dan The Information Technology Act 1999 (India), Pihak kepolisian Indonesia telah membentuk suatu unit penanggulangan kejahatan mayantara dengan nama Cybercrime Unit yang berada di bawah kendali Direktrorat Reserse Kriminal Polri.
Pembentukan unit kepolisian ini patut dipuji, namun amat disayangkan
apabila unit ini bekerja tidak dilengkapi dengan perangkat legislasi
anti cybercrime. Mengantisipasi kejahatan ini seyogianya dimulai
melalui pembentukan perangkat undang-undang seperti dalam Konsep KUHP
Baru dan RUU Teknologi Informasi yang disusun oleh Pusat Kajian Cyberlaw Universitas Padjadjaran. Model yang digunakan adalah Umbrella Provision atau “undang-undang payung”, artinya ketentuan cybercrime
tidak dibuat dalam bentuk perundang-undangan tersendiri (khusus), akan
tetapi diatur secara umum dalam RUU Teknologi Informasi dan RUU
Telematika.
Selain melakukan upaya dengan mengkriminalisasikan kegiatan di cyberspace dengan pendekatan global, Pemerintah Indonesia sedang melakukan suatu pendekatan evolusioner untuk mengatur kegiatan-kegiatan santun di cyberspace
dengan memperluas pengertian-pengertian (ekstensif interpretasi) yang
terdapat dalam Konsep KUHP Baru. Artinya, Konsep KUHP Baru sebelumnya
tidak memperluas pengertian-pengertian yang terkait dengan kegiatan di cyberspace sebagai delik baru.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan yang ditempuh dalam Konsep KUHP Baru yang berkaitan dengan kegiatan cyberspace antara lain: (1) dalam Buku I (ketentuan umum) dibuat ketentuan mengenai (a) pengertian “barang”
(Pasal 174) yang di dalamnya termasuk benda tidak berwujud berupa data
dan program komputer, jasa telepon atau telekomunikasi atas jasa
komputer. (b) pengertian “anak kunci” (Pasal 178) yang di
dalamnya termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetik,
sinyal yang telah diprogram untuk membuka sesuatu. (c) pengertian “surat”
(Pasal 188) termasuk data tertulis atau tersimpan dalam disket, pita
magnetik, media penyimpanan komputer atau penyimpanan data elektronik
lainnya. (d) pengertian “ruang” (Pasal 189) termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu oleh pelaku. (e) pengertian “masuk” (Pasal 190) termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer. (f) pengertian “jaringan telepon”
(Pasal 191) termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer.
(2) dalam Buku II memuat delik-delik baru yang berkaitan dengan
kemajuan teknologi dengan harapan dapat menjaring kasus-kasus cybercrime
antara lain (a) menyadap pembicaraan di ruangan tertutup dengan alat
bantu teknis (Pasal 263), (b) memasang alat bantu teknis untuk tujuan
mendengar atau merekam pembicaraan (Pasal 264), (c) merekam (memiliki)
atau menyiarkan gambar dengan alat bantu teknis di ruangan tidak untuk
umum (Pasal 266), (d) merusak atau membuat tidak dapat dipakai bangunan
untuk sarana atau prasarana pelayanan umum, seperti bangunan
telekomunikasi atau komunikasi lewat satelit atau komunikasi jarak jauh
(Pasal 546), dan (e) pencucian uang (Pasal 641 – 642).
Usaha yang dilakukan di atas adalah melalui regulasi undang-undang dengan menggunakan sarana penal, yakni memperluas pengaturan cyberspace dalam Konsep KUHP Baru dan membuat suatu RUU Teknologi Informasi dan RUU Telematika yang berkaitan dengan kegiatan di cyberspace.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah pengkajian lebih intensif
terhadap masalah yang hendak dikriminalisasikan sebagai upaya
penanggulangan kejahatan mayantara. Persyaratan pokok adalah kerugian
korban yang signifikan dengan perbuatan pelaku. Ketentuan pidana harus
dapat dioperasionalkan dan keyakinan bahwa tidak ada sarana lain yang
betul-betul dapat mengatasinya.
Meskipun hukum pidana merupakan sarana terakhir (ultimum remedium),
tetapi hukum pidana bukanlah alat yang cukup ampuh untuk menanggulangi
kejahatan mayantara karena penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana
hanya pengobatan simptomatik sehingga dibutuhkan sarana lain yang
bersifat non penal. Sarana non penal ini dapat dilakukan melalui saluran
teknologi (techno-prevention) pada pendekatan budaya, karena
teknologi merupakan hasil dari kebudayaan itu sendiri yang dapat
digunakan manusia, baik untuk tujuan baik maupun jahat. Pendekatan
budaya ini dilakukan untuk membangun atau membangkitkan kepekaan tinggi
warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap setiap masalah cybercrime
dan menyebarluaskan atau mengajarkan etika penggunaan komputer yang
baik melalui media pendidikan. Pentingnya pendekatan ini adalah dalam
upaya mengembangkan kode etik dan perilaku (code of behaviour and ethics) dalam pemakaian teknologi internet.
Pendekatan
non penal ini diharapkan dapat mengurangi pelanggaran hukum yang
menggunakan sarana teknologi sebagai bentuk pencegahan kejahatan.
Perkembangan
teknologi informasi yang semakin pesat dewasa ini patut disyukuri
sebagai hasil budaya manusia moderen. Seyogianya kemajuan teknologi
menolong kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Namun kemajuan
teknologi membawa dampak buruk dalam kehidupan masyarakat berupa
kejahatan mayantara sehingga harus diantisipasi dengan tersedianya
perangkat hukum atau undang-undang yang tepat. Dampak buruk teknologi
yang disalahgunakan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab menjadi
masalah hukum pidana dan harus segera ditanggulangi melalui sarana penal
yang dapat dilakukan oleh penegak hukum kepolisian. Sayangnya,
perangkat undang-undang belum tersedia sebagai sarana penal dalam
menanggulanginya.
Namun perkembangan teknologi digital tidak akan dapat dihentikan oleh siapapun, karena telah menjadi “kebutuhan pokok”
manusia moderen yang cenderung pada kemajuan dengan mempermudah
kehidupan masyarakat melalui komunikasi dan memperoleh informasi baru.
Dampak buruk teknologi menjadi pekerjaan rumah bersama yang merupakan
sisi gelap dari perkembangan teknologi yang harus ditanggulangi.
Mengingat kemajuan teknologi telah merambah ke pelosok dunia, termasuk kepedesaan di Indonesia, maka dampak buruk teknologi yang menjadi kejahatan mayantara pada masa depan harus ditanggulangi dengan lebih hati-hati, baik melalui sarana penal maupun non penal agar tidak menjadi masalah kejahatan besar bagi bangsa dan negara yang mengalami krisis ekonomi.
Mengingat kemajuan teknologi telah merambah ke pelosok dunia, termasuk kepedesaan di Indonesia, maka dampak buruk teknologi yang menjadi kejahatan mayantara pada masa depan harus ditanggulangi dengan lebih hati-hati, baik melalui sarana penal maupun non penal agar tidak menjadi masalah kejahatan besar bagi bangsa dan negara yang mengalami krisis ekonomi.
Demikian tulisan dari saya semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar