Kamis, 25 September 2014

Perkembangan Iptek



Perkembangan IPTEK di Dunia
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi. Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. Perkembangan iptek, terutama teknologi informasi (information technology) seperti internet sangat menunjang setiap orang mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat, baik legal maupun illegal dengan menghalalkan segala cara karena ingin memperoleh keuntungan secara “potong kompas”. Dampak buruk dari perkembangan “Dunia Maya” ini tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat moderen saat ini dan masa depan.

Kemajuan teknologi informasi yang serba digital membawa orang ke dunia bisnis yang revolusioner (digital revolution era) karena dirasakan lebih mudah, murah, praktis dan dinamis berkomunikasi dan memperoleh informasi. Di sisi lain, berkembangnya teknologi informasi menimbulkan pula sisi rawan yang gelap sampai tahap mencemaskan dengan kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana di bidang teknologi informasi yang berhubungan dengan “cybercrime” atau kejahatan mayantara.
Masalah kejahatan mayantara dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat. Tindak pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan moderen dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan komputer, pornografi, terorisme digital, “perang” informasi sampah, bias informasi, hacker, cracker dan sebagainya.
Peristiwa kejahatan mayantara yang pernah menimpa situs Mabes TNI, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Mabes Polri dan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia merupakan sisi gelap dari kejahatan teknologi informasi yang memanfaatkan kecanggihan internet. Begitu juga situs Microsoft, NASA dan Pentagon tidak luput pula dari para hacker nakal untuk mengacaukan sistem informasi dan data yang dimiliki oleh negara adidaya, Amerika Serikat. Ketegangan antara Cina dengan Amerika Serikat sempat pula mengarah pada perang hacker karena mengubah situs FBI menjadi wajah pilot Cina yang tewas dalam suatu insiden di Laut Cina Selatan dengan pesawat pengintai Amerika yang berada di wilayah udara Cina.
Semua peristiwa di atas adalah beberapa contoh disalahgunakannya kemajuan teknologi informasi untuk tujuan buruk yang dapat merugikan pihak lain dalam tatanan dunia semakin maju dalam globalisasi ekonomi. Inilah sebenarnya salah satu sisi paling buruk yang tidak dapat dihindarkan dan disembunyikan dari kemajuan teknologi informasi dewasa ini sebagaimana pernah diramalkan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene bakal ada perubahan dunia menjadi perkampungan global (global village) dengan pola satu sistem perekonomian atau single economy system, yaitu sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi demikian dapat menyebabkan orang menghalalkan segala cara, terutama pada saat berlakunya pasar bebas (free market) untuk mencapai tujuannya dengan menggunakan sarana teknologi canggih.
Masalah ini segera menjadi pusat perhatian dari masyarakat internasional. Pada International Information Industry Congress (IIC) 2000 Millenium di Quebec, Kanada, tanggal 19 September 2000 merumuskan perlunya kewaspadaan terhadap perkembangan cybercrimes yang dapat merusak sistem dan data vital teknologi perusahaan dalam kegiatan masyarakat industri. Panitia Kerja Perlindungan Data Dewan Eropa (The Data Protection Working Party of Europe Council) menyatakan pula bahwa cybercrimes adalah bagian sisi paling buruk dari masyarakat informasi yang perlu ditanggulangi dalam waktu singkat. Konperensi Cybercrimes International di London, Februari 2001 menyatakan dengan tegas bahwa cybercrime adalah salah satu dari aktivitas kriminal yang paling cepat tumbuh di planet bumi ini. Kerugian yang ditimbulkan luar biasa besarnya yang mencapai US $ 40 miliar per tahun. Di Amerika Serikat menurut hasil penelitian dari United States of Computer Security Institute (USCSI) menunjukkan bahwa sekitar 90% perusahaan (corporates) berskala besar mengaku telah mendeteksi adanya pelanggaran keamanan terhadap sistem komputerisasi yang mereka gunakan dalam kegiatan industri. Sebanyak 273 perusahaan di sana telah mengalami finantial losses yang cukup signifikan untuk tambahan modal bagi perkembangan perusahaan tersebut. Nilai kerugian mencapai US $ 265 juta dan sebagian besar dari transaksi ilegal.

Bagi Indonesia sebagai suatu negara berkembang dan kepulauan yang cukup besar tidak akan luput dari pengaruh perkembangan buruk teknologi informasi dewasa ini maupun masa depan. Masalah ini perlu ditanggulangi supaya tidak menjadi korban kejahatan mayantara dengan kerugian besar bagi warga masyarakat, bangsa dan negara mengingat negeri ini amat rentan dengan pelbagai bentuk kejahatan sebagai dampak dari kemajuan iptek, baik oleh hacker/cracker nakal di dalam maupun luar negeri.

Makna dan Perkembangan Kejahatan Mayantara

Adanya penyalahgunaan teknologi informasi yang merugikan kepentingan pihak lain sudah menjadi realitas sosial dalam kehidupan masyarakat moderen sebagai dampak dari pada kemajuan iptek yang tidak dapat dihindarkan lagi bagi bangsa-bangsa yang telah mengenal budaya teknologi (the culture of technology). Teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia dalam dunia yang semakin “sempit” ini. Semua ini dapat dipahami, karena teknologi memegang peran amat penting di dalam kemajuan suatu bangsa dan negara di dalam percaturan masyarakat internasional yang saat ini semakin global, kompetitif dan komparatif. Bangsa dan negara yang menguasai teknologi tinggi berarti akan menguasai “dunia”, baik secara ekonomi, politik, budaya, hukum internasional maupun teknologi persenjataan militer untuk pertahanan dan keamanan negara bahkan kebutuhan intelijen. Contohnya adalah teknologi yang dimiliki Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Israel.
Supaya masalah penyalahgunaan teknologi ini tidak menjadi keresahan sosial bagi masyarakat luas, seyogianya implementasi hukum di dalam kehidupan masyarakat moderen yang memakai teknologi tinggi harus mampu untuk mengurangi perilaku yang dapat merugikan kepentingan bagi orang atau pihak lain, meskipun adanya hak dan kebebasan individu dalam mengekspresikan ilmu atau teknologinya dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Harus diingat, perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang ini dan masa akan datang yang tidak mungkin untuk diberantas tuntas.
Suatu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa kejahatan sebagai gejala sosial sampai sekarang belum diperhitungkan dan diakui untuk menjadi suatu tradisi atau budaya yang selalu mengancam dalam setiap saat kehidupan masyarakat. Di sini perlu ada semacam batasan hukum yang tegas di dalam menanggulangi dampak sosial, ekonomi dan hukum dari kemajuan teknologi moderen yang tidak begitu mudah ditangani oleh aparat penegak hukum di negara berkembang seperti halnya Indonesia yang membutuhkan perangkat hukum yang jelas dan tepat dalam mengantisipasi setiap bentuk perkembangan teknologi dari waktu ke waktu. Kemampuan hukum pidana menghadapi perkembangan masyarakat moderen amat dibutuhkan mengingat pendapat Herbert L. Packer “We live today in a state of hyper-consciousness about the real of fancied breakdown of social control over the most basic threats to person and proverty”. Artinya, dewasa ini kita hidup dalam suatu negara dengan kecurigaan tinggi seputar kenyataan pengendalian sosial dari khayalan melebihi ancaman paling dasar terhadap orang dan harta benda. Roberto Mangabeira Unger pernah mengemukakan, the rule of law is intimately associated with individual freedom, even though it fails to resolve the problem of illegitimate personal dependency in social life”. Artinya, aturan hukum merupakan lembaga pokok bagi kebebasan individu meskipun ia mengalami kegagalan untuk memecahkan masalah ketergantungan pribadi yang tidak disukai dalam kehidupan sosial. Wajar hukum harus mampu mengantisipasi setiap perkembangan pesat teknologi berikut dampak buruk yang ditimbulkannya, karena amat merugikan.
Penyalahgunaan teknologi informasi ini akan dapat menjadi masalah hukum, khususnya hukum pidana, karena adanya unsur merugikan orang, bangsa dan negara lain. Sarana yang dipakai dalam melakukan aksi kejahatan mayantara ini adalah seperangkat komputer yang memiliki fasilitas internet. Penggunaan teknologi moderen ini dapat dilakukan sendiri oleh hacker atau sekelompok cracker dari rumah atau tempat tertentu tanpa diketahui oleh pihak korban. Kerugian yang dialami korban dapat berupa kerugian moril, materil dan waktu seperti rusaknya data penting, domain names atau nama baik, kepentingan negara ataupun transaksi bisnis dari suatu korporasi atau badan hukum (perusahaan) mengingat kejahatan mayantara atau teknologi informasi ini tidak akan mengenal batas wilayah negara yang jelas. Kejahatan teknologi informasi ini menurut pendapat penulis dapat digolongkan ke dalam supranational criminal law. Artinya, kejahatan yang korbannya adalah masyarakat lebih luas dan besar terdiri dari rakyat suatu negara bahkan beberapa negara sekaligus. Kejahatan dengan jangkauan korban yang memiliki data penting ini dapat menimpa siapa dan kapan saja mengingat akses teknologi mayantara pada masa depan sulit untuk menyembunyikan sesuatu data yang paling dirahasiakan, termasuk data negara.
Kejahatan ini beraspek pada masalah hukum internasional mengingat pendapat J.G Starke, bahwa ada kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi internasional, hubungan satu sama lain dan hubungan negara-negara dengan individu serta kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan atau badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional. Kejahatan mayantara sudah jelas akan dapat menjangkau pada kepentingan masyarakat internasional. Ini cukup berarti menurut Romli Atmasasmita, karena adanya standar hukum pidana yang telah berkembang di dalam kumpulan masyarakat tersebut yang harus dapat melindungi kepentingan semua pihak.
Segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan atau kriminal berteknologi tinggi adalah menyalahgunakan kemudahan teknologi digital untuk kepentingan tertentu yang sangat merugikan bagi pihak lain. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut dapat berupa spionase informasi, pencurian data, pemalsuan kartu kredit (credit card), penyebaran virus komputer, pornografi orang dewasa dan anak, penyebaran e-mail bermasalah hingga kampanye anti suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), terorisme dan ekstrimisme di internet. Semua bentuk kejahatan mayantara tersebut amat merugikan bagi kepentingan individu, kelompok masyarakat, bangsa dan negara bahkan internasional yang mendambakan selalu terwujudnya perdamaian abadi dalam tatanan masyarakat ekonomi global.
Pada Kongres PBB ke-X tahun 2000, pengertian atau definisi dari cybercrime dibagi dua, yaitu pengertian sempit, yakni “any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them”. Artinya, kejahatan ini merupakan perbuatan bertentangan dengan hukum yang langsung berkaitan dengan sarana elektronik dengan sasaran pada proses data dan sistem keamanan komputer. Di dalam pengertian luas, cybercrime didefinisikan sebagai : “any illegal behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network”. Artinya, perbuatan yang melawan hukum dengan menggunakan sarana atau berkaitan dengan sistem atau jaringan komputer termasuk kejahatan memiliki secara illegal, menawarkan atau mendistribusikan informasi melalui sarana sistem atau jaringan komputer. Selain itu, Cybercrime dapat juga diartikan sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”. Artinya, kejahatan yang berkaitan dengan teknologi, komputer dan internet.
Dari pengertian di atas memberikan gambaran betapa pengertian dan kriminalisasi terhadap Cybercrime cukup luas yang dapat menjangkau setiap perbuatan ilegal dengan menggunakan sarana sistem dan jaringan komputer yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu, supaya jelas dalam kriminalisasi terhadap cybercrime harus dibedakan antara harmonisasi materi/substansi yang dinamakan dengan tindak pidana atau kejahatan mayantara dengan harmonisasi kebijakan formulasi kejahatan tersebut. Perbedaan ini penting untuk menentukan, apakah jenis kejahatan ini akan berada di dalam atau di luar ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun undang-undang pidana khusus yang membutuhkan kerangka hukum baru untuk diberlakukan secara nasional. Saat ini telah ada konsep KUHP Baru yang dapat menambahkan pasal-pasal sanksi ancaman terhadap pelaku dari kejahatan mayantara dan RUU tentang Teknologi Informasi antara lain mengatur soal yurisdiksi dan kewenangan pengadilan (Bab VIII), penyidikan (Bab X) dan ketentuan pidana (Bab XI).
Pemberlakuan undang-undang ini tidak hanya untuk ius constitutum sebagai hukum positif, yakni hukum yang diberlakukan saat ini akan tetapi juga ius constituendum atau hukum masa depan. Merujuk pada sistematika Draft Convention on Cybercrime dari Dewan Eropa (Council of Europe) yaitu Draft No. 25, Desember 2000 dimana konvensi ini ditandatangani oleh 30 negara pada bulan November 2001 di Budapest, Bulgaria, maka Barda Nanawi Arief memberikan kategori cybercrime sebagai delik dalam empat hal sebagai berikut. Pertama, delik-delik terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer termasuk di dalamnya (a) mengakses sistem komputer tanpa hak (illegal acces), (b) tanpa hak menangkap/mendengar pengiriman dan pemancaran (illegal interception), (c) tanpa hak merusak data (data interference), (d) tanpa hak mengganggu sistem (system interference), (e) menyalahgunakan perlengkapan (misuse of devices). Kedua, delik-delik yang berhubungan dengan komputer berupa pemalsuan dan penipuan dengan komputer (computer related offences : forgery and fraud). Ketiga, delik-delik yang bermuatan tentang pornografi anak (content-related offences, child pornography). Keempat, delik-delik yang berhubungan dengan masalah hak cipta (offences related to infringements of copyright).
Sementara Mardjono Reksodiputro dengan mengutip pendapat Eric J. Sinrod dan William P. Reilly melihat kebijakan formulasi cybercrime dapat dilakukan dalam dua pendekatan. Pertama, menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan dengan pemakaian teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP dapat dipergunakan untuk menanggulanginya dengan penambahan pasal tertentu dalam konsep RUU KUHP Baru. Kedua, menganggapnya sebagai kejahatan baru (new category of crime) yang amat membutuhkan suatu kerangka hukum baru (new legal framework) dan komprehensif untuk mengatasi sifat khusus teknologi yang sedang berkembang dan tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa (misalnya masalah yurisdiksi) dan karena itu perlu diatur secara tersendiri di luar KUHP.
Kendati ketentuan dalam KUHP belum bisa menjangkau atau memidana para pelaku kejahatan ini dengan tepat dan undang-undang teknologi informasi belum ada yang dapat mengatur masalah penyalahgunaan teknologi, akan tetapi kejahatan mayantara harus tetap menjadi prioritas utama penegak hukum kepolisian untuk menanggulanginya. Dampak buruk teknologi menjadi masalah serius bagi umat manusia pada masa depan, apabila disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan maksud untuk menarik keuntungan ataupun mengacaukan data penting pihak lain bahkan negara bisa menjadi korbannya.
Keadaan ini tidak dapat dihindarkan mengingat salah satu ciri dari masyarakat moderen adalah kecenderungan untuk menggunakan teknologi dalam segenap aspek kehidupannya. Perkembangan teknologi digital tidak dapat dihentikan oleh siapa pun sebagai wujud dari hasil kebudayaan. Di sini menjadi tugas dari pihak pemerintah, penegak hukum kepolisian dan warga masyarakat untuk mampu mengantisipasi setiap bentuk kemajuan teknologi digital yang pesat sehingga dampak buruk perkembangan yang merugikan dapat ditanggulangi lebih dini.
Bentuk-bentuk Kejahatan Mayantara
Munculnya revolusi teknologi informasi dewasa ini dan masa depan tidak hanya membawa dampak pada perkembangan teknologi itu sendiri, akan tetapi juga akan mempengaruhi aspek kehidupan lain seperti agama, kebudayaan, sosial, politik, kehidupan pribadi, masyarakat bahkan bangsa dan negara. Jaringan informasi global atau internet saat ini telah menjadi salah satu sarana untuk melakukan kejahatan baik domestik maupun internasional. Internet menjadi medium bagi pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan dengan sifatnya yang mondial, internasional dan melampaui batas ataupun kedaulatan suatu negara. Semua ini menjadi motif dan modus operandi yang amat menarik bagi para penjahat digital.
Manifestasi kejahatan mayantara yang terjadi selama ini dapat muncul dalam berbagai macam bentuk atau varian yang amat merugikan bagi kehidupan masyarakat ataupun kepentingan suatu bangsa dan negara pada hubungan internasional. Kejahatan mayantara dewasa ini mengalami perkembangan pesat tanpa mengenal batas wilayah negara lagi (borderless state), karena kemajuan teknologi yang digunakan para pelaku cukup canggih dalam aksi kejahatannya. Para hacker dan cracker bisa melakukannya lewat lintas negara (cross boundaries countries) bahkan di negara-negara berkembang (developing countries) aparat penegak hukum, khususnya kepolisian tidak mampu untuk menangkal dan menanggulangi disebabkan keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana teknologi yang dimiliki.
Disisi lain, kemampuan para hacker dan cracker dalam “mengotak-atik” internet juga semakin andal untuk mengacaukan dan merusak data korban. Mereka dengan cepat mampu mengikuti perkembangan baru teknologi bahkan menciptakan pula “jurus ampuh” untuk membobol data rahasia korban atau virus perusak yang tidak dikenal sebelumnya. Perbuatan ini jelas akan menimbulkan kerugian besar dialami para korban yang sulit untuk dipulihkan dalam waktu singkat mengingat ada pula antibody virus tidak mudah ditemukan oleh pembuat software komputer.
Wajar kejahatan mayantara akan menjadi momok baru yang menakutkan bagi setiap orang bahkan masyarakat internasional dewasa ini dan masa depan akibat kemajuan teknologi yang digunakan bukan untuk tujuan kemaslahatan umat manusia, akan tetapi menghancurkan hasil rasa, karsa dan cipta orang lain. Berdasarkan catatan dari National Criminal Intellengence Services (NCIS) di Inggris terdapat 13 macam bentuk-bentuk cybercrime.

Pertama, Recreational Hackers, kejahatan ini dilakukan oleh netter tingkat pemula untuk iseng-iseng mencoba kekurangandalan dari sistem sekuritas atau keamanan data suatu perusahaan. Tujuan iseng-iseng ini oleh pelaku dimaksudkan sekedar hiburan akan tetapi mempunyai dampak pada kejahatan mayantara yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan pihak lain.

Kedua, Crackers atau Criminal Minded Hackers, yaitu pelaku kejahatan ini biasanya memiliki motivasi untuk mendapatkan keuntungan finansial, sabotase, dan penghancuran data pihak korban. Sebagai contoh pada tahun 1994 Citibank AS di Inggris mengalami kebobolan senilai US $ 400.000 oleh cracker dari Rusia. Pelaku akhirnya dapat ditangkap dan dijatuhi pidana penjara selama tiga tahun serta harus mengembalikan sejumlah uang yang dijarah. Tipe kejahatan ini dapat terjadi dengan bantuan orang dalam yakni biasanya adalah staf karyawan yang “sakit hati” atau datang dari kompetitor dalam kegiatan bisnis sejenis.

Ketiga, Political Hackers, yakni aktivis politik atau hactivist melakukan perusakan terhadap ratusan situs web untuk mengkampanyekan program-program tertentu bahkan tidak jarang digunakan untuk menempelkan pesan untuk mendiskreditkan lawan politiknya. Usaha tersebut pernah dilakukan secara aktif dalam usaha untuk kampanye anti Indonesia pada masalah Timor Timur yang dipelopori oleh Ramos Horta dan kawan-kawan sehingga situs Departemen Luar Negeri Republik Indonesia sempat mendapat serangan yang diduga keras dari kelompok anti integrasi sebelum dan setelah jajak pendapat tentang Referendum Timor Timur tahun 1999 lalu.

Keempat, Denial of Service Attack. Serangan tujuan ini adalah untuk memacetkan sistem dengan mengganggu akses dari pengguna jasa internet yang sah. Taktik yang digunakan adalah dengan mengirim atau membanjiri situs web dengan data sampah yang tidak perlu bagi orang yang dituju. Pemilik situs web menderita kerugian, karena untuk mengendalikan atau mengontrol kembali situs web tersebut dapat memakan waktu tidak sedikit yang menguras tenaga dan enerji.

Kelima, Insiders (Internal) Hackers yang biasanya dilakukan oleh orang dalam perusahaan sendiri. Modus operasinya adalah karyawan yang kecewa atau bermasalah dengan pimpinan korporasi dengan merusak data atau akses data dalam transaksi bisnis. Contoh Departemen Perdagangan dan Perindustrian Inggris pernah mengumumkan bahwa tahun 1998 perusahaan di negeri itu menderita kerugian senilai 1,5 miliar poundsterling, akibat kelakuan musuh dalam “selimut” ini.

Keenam, viruses. Program pengganggu (malicious) perangkat lunak dengan melakukan penyebaran virus yang dapat menular melalui aplikasi internet, ketika akan diakses oleh pemakai. Sebelum ditemukan internet, pola penularan virus oleh hackers hanya bisa melalui floppy disk. Akan tetapi dengan berkembangnya internet dewasa ini, virus dapat bersembunyi di dalam file dan downloaded oleh user (pemakai) bahkan menyebar pula melalui kiriman e-mail. Seperti “dunia kedokteran”, maka pada “dunia komputer” memang telah menciptakan jurus anti virus seperti Melissa 1999 atau Lovebug 2000 dan sebagainya, namun masih belum dapat berbuat banyak untuk membasmi semua jenis virus komputer yang terus berkembang dengan pesat.

Ketujuh, piracy. Pembajakan software atau perangkat lunak komputer merupakan trend atau kecenderungan yang terjadi dewasa ini, karena dianggap lebih mudah dan murah untuk dilakukan para pembajak dengan meraup keuntungan berlipat ganda. Pihak produsen software yang memproduksi piranti induk (master) dari permainan (games), film dan lagu dapat kehilangan profit atau keuntungan karena karyanya dibajak melalui download dari internet dan dikopi ke dalam bentuk CD-ROM yang selanjutnya diperbanyak secara ilegal atau tanpa seizin penciptanya melalui video caset decoder (vcd), compact disc (cd), play station dan cassete recorder.

Kedelapan, fraud adalah sejenis manipulasi informasi keuangan dengan tujuan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai contoh adalah harga tukar saham yang menyesatkan melalui rumour yang disebarkan dari mulut ke mulut atau tulisan. Begitu juga dengan situs lelang fiktif dengan mengeruk uang masuk dari para peserta lelang karena barang yang dipesan tidak dikirim bahkan identitas para pelakunya tidak dapat dilacak dengan mudah.

Kesembilan, gambling. Perjudian di dunia mayantara semakin global sulit dijerat sebagai pelanggaran hukum apabila hanya memakai hukum nasional suatu negara berdasarkan pada locus delicti atau tempat kejadian perkara, karena para pelaku dengan mudah dapat memindahkan tempat permainan judi dengan sarana komputer yang dimilikinya secara mobil. Dari kegiatan gambling ini, uang yang dihasilkan dapat diputar kembali di negara yang merupakan the tax haven, seperti Cayman Island yang juga merupakan surga bagi para pelaku money laundering. Indonesia sering pula dijadikan oleh pelaku sebagai negara tujuan pencucian uang yang diperoleh dari hasil kejahatan berskala internasional. Upaya mengantisipasinya adalah diterbitkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang.

Kesepuluh, pornography and paeddophilia. Perkembangan dunia mayantara selain mendatangkan berbagai kemaslahatan bagi umat manusia dengan mengatasi kendala ruang dan waktu, juga telah melahirkan dampak negatif berupa “dunia pornografi” yang mengkhawatirkan berbagai kalangan terhadap nilai-nilai etika, moral dan estetika. Melalui news group, chat rooms bahkan mengeksploitasi pornografi anak-anak di bawah umur, kegiatan hackers ini amat meresahkan bagi kalangan orang tua, agamawan dan masyarakat beradab.

Kesebelas, cyber stalking adalah segala bentuk kiriman e-mail yang tidak dikehendaki oleh user atau junk e-mail yang sering memakai folder serta tidak jarang dengan pemaksaan. Walaupun e-mail “sampah” ini tidak dikehendaki oleh para user bahkan secara paksa memperoleh identitas personal secara detail tentang calon para korbannya, akan tetapi kiriman ini sangat merepotkan dan menghabiskan waktu user untuk membersihkan halaman komputernya dari “sampah” tidak diundang ini. Para pemakai komputer hanya bisa menggerutu terhadap pelakunya.

Keduabelas, hate sites. Situs ini sering digunakan oleh hackers untuk saling menyerang dan melontarkan komentar-komentar yang tidak sopan dan vulgar yang dikelola oleh para “ekstrimis” untuk menyerang pihak-pihak yang tidak disenanginya. Penyerangan terhadap lawan atau opponent ini sering mengangkat pada isu-isu rasial, perang program dan promosi kebijakan ataupun suatu pandangan (isme) yang dianut oleh seseorang/kelompok, bangsa dan negara untuk bisa dibaca serta dipahami orang atau pihak lain sebagai “pesan” yang disampaikan.

Ketigabelas, criminal communications. NCIS telah mendeteksi bahwa internet dijadikan sebagai alat yang andal dan moderen untuk melakukan kegiatan komunikasi antar Gangster, anggota sindikat obat bius dan bahkan komunikasi antar “Hooligan” di dunia sepakbola Inggris. Komunikasi lewat internet merupakan alat atau sarana yang cukup ampuh untuk melakukan kejahatan terorganisir.
Bagaimanakah dengan kasus kriminalitas atau modus operandi yang berbasiskan pada teknologi digital di Indonesia?. Beberapa kasus kejahatan mayantara yang terjadi dan ditangani oleh penegak hukum kepolisian lebih banyak bermotifkan pada masalah ekonomi antara lain pembobolan rekening bank yang dialami BNI Cabang New York (1987) dengan kerugian Rp. 30 miliar, Bank Danamon Jakarta (1990) sebanyak Rp. 372 miliar, Bank Panin Cabang Senayan, Jakarta (1995) sebanyak Rp. 4,2 miliar, Hongkong Bank di Jakarta (1996) sebanyak Rp. 96 miliar. Kasus penyadapan credit card pada beberapa daerah sempat marak pada tahun 2001 lalu.

Bentuk-bentuk dari kejahatan mayantara lain bukan berarti tidak pernah terjadi di Indonesia, akan tetapi karena tidak dilaporkan oleh para korban pada pihak kepolisian, maka masalah ini tidak menonjol dan menjadi prioritas penegakan hukum. Keadaan demikian sebenarnya akan menjadi kejahatan tersembunyi (hidden crime of cyber) pada masa depan apabila tidak ditanggulangi secara hukum.

Upaya Penanggulangan Kejahatan Mayantara

Harus diakui bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan mayantara yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
Di Inggris dan Jerman membentuk suatu institusi bersama yang ditugaskan untuk dapat menanggulangi masalah Cybercrime Investigation dengan nama National Criminal Intellegence Service (NCIS) yang bermarkas di London. Pada tahun 2001, Inggris meluncurkan suatu proyek yang diberi nama “Trawler Project” bersamaan dibentuknya National Hi-tech Crime Unit yang dilengkapi dengan anggaran khusus untuk cyber cops. Sementara itu, Amerika Serikat membentuk pula Computer Emergency Response Team (CERT) yang bermarkas di Pittsburg pada tahun 1990-an dan Federal Bureau Investigation (FBI) memiliki Computer Crime Squad di dalam menanggulangi kejahatan mayantara. Beberapa negara Asia lain ternyata telah maju selangkah dengan membentuk perangkat undang-undang teknologi informasi seperti The Computer Crime Act 1997 (Malaysia), The Computer Misuse Act 1998 (Singapura), dan The Information Technology Act 1999 (India), Pihak kepolisian Indonesia telah membentuk suatu unit penanggulangan kejahatan mayantara dengan nama Cybercrime Unit yang berada di bawah kendali Direktrorat Reserse Kriminal Polri. Pembentukan unit kepolisian ini patut dipuji, namun amat disayangkan apabila unit ini bekerja tidak dilengkapi dengan perangkat legislasi anti cybercrime. Mengantisipasi kejahatan ini seyogianya dimulai melalui pembentukan perangkat undang-undang seperti dalam Konsep KUHP Baru dan RUU Teknologi Informasi yang disusun oleh Pusat Kajian Cyberlaw Universitas Padjadjaran. Model yang digunakan adalah Umbrella Provision atau “undang-undang payung”, artinya ketentuan cybercrime tidak dibuat dalam bentuk perundang-undangan tersendiri (khusus), akan tetapi diatur secara umum dalam RUU Teknologi Informasi dan RUU Telematika.
Selain melakukan upaya dengan mengkriminalisasikan kegiatan di cyberspace dengan pendekatan global, Pemerintah Indonesia sedang melakukan suatu pendekatan evolusioner untuk mengatur kegiatan-kegiatan santun di cyberspace dengan memperluas pengertian-pengertian (ekstensif interpretasi) yang terdapat dalam Konsep KUHP Baru. Artinya, Konsep KUHP Baru sebelumnya tidak memperluas pengertian-pengertian yang terkait dengan kegiatan di cyberspace sebagai delik baru.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan yang ditempuh dalam Konsep KUHP Baru yang berkaitan dengan kegiatan cyberspace antara lain: (1) dalam Buku I (ketentuan umum) dibuat ketentuan mengenai (a) pengertian “barang” (Pasal 174) yang di dalamnya termasuk benda tidak berwujud berupa data dan program komputer, jasa telepon atau telekomunikasi atas jasa komputer. (b) pengertian “anak kunci” (Pasal 178) yang di dalamnya termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetik, sinyal yang telah diprogram untuk membuka sesuatu. (c) pengertian “surat” (Pasal 188) termasuk data tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, media penyimpanan komputer atau penyimpanan data elektronik lainnya. (d) pengertian “ruang” (Pasal 189) termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu oleh pelaku. (e) pengertian “masuk” (Pasal 190) termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer. (f) pengertian “jaringan telepon” (Pasal 191) termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer. (2) dalam Buku II memuat delik-delik baru yang berkaitan dengan kemajuan teknologi dengan harapan dapat menjaring kasus-kasus cybercrime antara lain (a) menyadap pembicaraan di ruangan tertutup dengan alat bantu teknis (Pasal 263), (b) memasang alat bantu teknis untuk tujuan mendengar atau merekam pembicaraan (Pasal 264), (c) merekam (memiliki) atau menyiarkan gambar dengan alat bantu teknis di ruangan tidak untuk umum (Pasal 266), (d) merusak atau membuat tidak dapat dipakai bangunan untuk sarana atau prasarana pelayanan umum, seperti bangunan telekomunikasi atau komunikasi lewat satelit atau komunikasi jarak jauh (Pasal 546), dan (e) pencucian uang (Pasal 641 – 642).
Usaha yang dilakukan di atas adalah melalui regulasi undang-undang dengan menggunakan sarana penal, yakni memperluas pengaturan cyberspace dalam Konsep KUHP Baru dan membuat suatu RUU Teknologi Informasi dan RUU Telematika yang berkaitan dengan kegiatan di cyberspace. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah pengkajian lebih intensif terhadap masalah yang hendak dikriminalisasikan sebagai upaya penanggulangan kejahatan mayantara. Persyaratan pokok adalah kerugian korban yang signifikan dengan perbuatan pelaku. Ketentuan pidana harus dapat dioperasionalkan dan keyakinan bahwa tidak ada sarana lain yang betul-betul dapat mengatasinya.

Meskipun hukum pidana merupakan sarana terakhir (ultimum remedium), tetapi hukum pidana bukanlah alat yang cukup ampuh untuk menanggulangi kejahatan mayantara karena penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana hanya pengobatan simptomatik sehingga dibutuhkan sarana lain yang bersifat non penal. Sarana non penal ini dapat dilakukan melalui saluran teknologi (techno-prevention) pada pendekatan budaya, karena teknologi merupakan hasil dari kebudayaan itu sendiri yang dapat digunakan manusia, baik untuk tujuan baik maupun jahat. Pendekatan budaya ini dilakukan untuk membangun atau membangkitkan kepekaan tinggi warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap setiap masalah cybercrime dan menyebarluaskan atau mengajarkan etika penggunaan komputer yang baik melalui media pendidikan. Pentingnya pendekatan ini adalah dalam upaya mengembangkan kode etik dan perilaku (code of behaviour and ethics) dalam pemakaian teknologi internet.
Pendekatan non penal ini diharapkan dapat mengurangi pelanggaran hukum yang menggunakan sarana teknologi sebagai bentuk pencegahan kejahatan.


Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat dewasa ini patut disyukuri sebagai hasil budaya manusia moderen. Seyogianya kemajuan teknologi menolong kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Namun kemajuan teknologi membawa dampak buruk dalam kehidupan masyarakat berupa kejahatan mayantara sehingga harus diantisipasi dengan tersedianya perangkat hukum atau undang-undang yang tepat. Dampak buruk teknologi yang disalahgunakan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab menjadi masalah hukum pidana dan harus segera ditanggulangi melalui sarana penal yang dapat dilakukan oleh penegak hukum kepolisian. Sayangnya, perangkat undang-undang belum tersedia sebagai sarana penal dalam menanggulanginya.
Namun perkembangan teknologi digital tidak akan dapat dihentikan oleh siapapun, karena telah menjadi “kebutuhan pokok” manusia moderen yang cenderung pada kemajuan dengan mempermudah kehidupan masyarakat melalui komunikasi dan memperoleh informasi baru. Dampak buruk teknologi menjadi pekerjaan rumah bersama yang merupakan sisi gelap dari perkembangan teknologi yang harus ditanggulangi.
Mengingat kemajuan teknologi telah merambah ke pelosok dunia, termasuk kepedesaan di Indonesia, maka dampak buruk teknologi yang menjadi kejahatan mayantara pada masa depan harus ditanggulangi dengan lebih hati-hati, baik melalui sarana penal maupun non penal agar tidak menjadi masalah kejahatan besar bagi bangsa dan negara yang mengalami krisis ekonomi.
Demikian tulisan dari saya semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar